Sikapi Pemusnahan Atribut Adat, Unjuk Rasa di Boven Digoel Berujung Ricuh dan Penjarahan

REDAKSI22.COM, MERAUKE – Aksi unjuk rasa damai oleh sekelompok massa di Tanah Merah Kabupaten Boven Digoel, Rabu (22/10/2025) berujung bentrok fisik dengan aparat keamanan.

Massa memprotes kegiatan pemusnahan sejumlah barang bukti penyeludupan yang di dalamnya terdapat ikat kepala atau cinderamata burung Cenderawasih oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Jayapura Papua, yang menurut mereka adalah simbol atribut adat masyarakat Papua.

Informasi yang berhasil dihimpun, massa melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian yang mencoba menghalau peserta aksi dan menjarah di sejumlah pertokoan di Tanah Merah Boven Digoel.

Massa yang semakin beringas menyerang dengan busur panah dan parang, mendorong aparat kepolisian melakukan tindakan tegas dan terukur dengan melepaskan sejumlah tembakan.

Tiga (3) orang anggota polisi dilaporkan luka-luka akibat terkena anak panah dan parang. Sementara, beberapa warga juga mengalami luka-luka akibat bentrok fisik dengan aparat keamanan yang berusaha menghalau dan membubarkan massa aksi.

Kapolres Boven Digoel, AKBP Wisnu Wardana yang dihubungi via telepon menjelaskan, aksi demo pada awalnya adalah unjuk rasa damai. Namun karena ditunggangi sejumlah provokator, aksi damai berubah menjadi ajang kerusuhan dan penjarahan.

“Kami mendapat informasi sekitar jam 08.00 malam, masyarakat di Boven Digoel menanggapi tentang berita dari BKSDA Jayapura, yang dalam hal ini ada tamu undangan TNI/Polri untuk melakukan pemusnahan barang bukti penyelundupan. Yang diselundupkan itu ada ikat kepala tradisional Papua, Burung Cenderawasih,” terang Kapolres Wisnu Wardana.

Menurut Kapolres, masyarakat menuntut agar kegiatan pemusnahan itu tidak boleh dilakukan karena berkaitan atribut adat Papua yang sangat disakralkan.

“Awal massa melakukan aksi damai dari lapangan Trikora menuju Kantor LMA dan Kantor Bupati. Kami dari kepolisian dan anggota Kodim sudah melakukan pengawalan secara humanis. Kita bersama-sama jalan kaki menuju Kantor LMA. Di sana masyarakat menyampaikan aspirasi dan tuntutan.”

“Namun terjadi perkembangan. Massa tidak jadi ke kantor LMA tetapi ke kantor Kodim. Penyampaian aspirasi di Kodim berjalan lancar. Selepas itu, masyarakat membubarkan diri, kami lakukan pengantaran. Namun saat makan siang ada beberapa oknum diduga melakukan provokasi, terlepas dari kegiatan penyampaian aspirasi, sehingga muncul emosi dan terjadi bentrok. Massa melakukan penjarahan,“ bebernya.

Sementara itu, Koordinator Aksi, Norbertus Wagi tak menyangka kalau aksi yang awalnya dilakukan secara spontan dan damai itu akan berakhir ricuh dan anarkis.

Menurut Nobertus, aksi dilakukan secara spontan menanggapi pemusnahan dan pembakaran atribut adat Papua berupa cinderamata ikat kepala Burung Cenderawasih oleh BKSDA Papua.

“Itu yang menjadi tuntutan kami melakukan aksi. Yang harus digarisbawahi bahwa aksi kami ini, aspirasi spontanitas. Tidak ada embel-embel lain, kiri kanan. Itu yang harus digarisbawahi. Tidak ada embel-embel lain. Ini murni anak adat kami yang bergabung menyuarakan adat kami yang dilecehkan,’’ kata Nobertus.

Oleh karena itu, lanjutnya, pergerakan yang dilakukan mulai dari Lapangan Trikora, dirinya telah menyampaikan jika pergerakan yang dilakukan adalah pergerakan damai.

“Kami melakukan aspirasi demo, demo damai sampai pada Lembaga-lembaga yang kami tuju. Sehingga jika ada hal-hal diluar dari petunjuk kami, itu bukan tanggung jawab kami,’’ katanya.

“Setelah aspirasi disampaikan, saat itu juga saya sampaikan kita bubar dengan damai dan tertib. Lalu saya minta kepada TNI dan Polri untuk menyiapkan kendaraan untuk mengangkut anak-anak kami dari lapangan Trikora ke Kodim. Cuma pergerakan untuk membantu memobilisasi anak-anak ini tidak dilakukan. Ini yang saya sesalkan kenapa tidak dilakukan,’’ pungkasnya. (*)

Penulis: Hendrik

Editor: Hen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *